ZAKAT

ZAKAT KONSEP HARTA YANG BERSIH
 
Oleh Masdar F. Mas'udi
 
Bicara  soal  zakat  dikaitkan  dengan  pemerataan  ada  kesan
memaksakan diri, mangada-ada!. Tapi, anehnya orang tak kunjung
kapok menjadikannya sebagai  tema.  Seolah-olah  yang  penting
bukan  kesepadanan konsep zakat dengan pemerataan. Tapi adanya
kekuatan ghaib, magic, yang tersimpan dalam kata-kata  "zakat"
itu  sendiri.  Ibarat  figur, kata-kata zakat diyakini sebagai
tokoh imam mahdi atau ratu adil yang meski  pun  sangat  sulit
orang  mencernanya,  tapi dalam hati tetap bercokol keyakinan,
suatu saat nanti, lambat atau cepat, kehebatan dan mukjizatnya
diperlihatkan juga.
 
Sesungguhnyalah,  mengkaitkan soal pemerataan, bahkan keadilan
sekaligus, dengan konsep zakat bukan merupakan  hal  yang  tak
masuk akal. Bahkan mengkaitkannya dengan rukun Islam yang lain
(syahadat, shalat, puasa, juga haji) bukan  merupakan  perkara
mustahil.  Misalnya  karena  kekhusyukannya  dalam  menunaikan
shalat,  seseorang  yang   kebetulan   kaya   raya   tiba-tiba
terpanggil  menginfakkan  seluruh  hartanya  untuk  menghidupi
orang-orang miskin, orang  ini  terbuka  tabir  kerohaniannya.
Tanpa  diduga-duga  orang  ini  tiba-tiba tersadarkan bahwa di
alam dunia ini, seseorang boleh tak punya apa-apa, atau  hanya
pas-pasan  saja,  yang  penting adalah keterpautan hati secara
terus menerus  untuk  menyebut  nama-nama  Nya.  Ajaib!  Tapi,
bagaimanapun hal ini memang tak mustahil.
 
Masalahnya,  dengan  segala  ajarannya, Islam bukanlah sejenis
halte tempat orang menunggu dengan  kepasifan,  di  mana  akan
munculnya  momen-momen  ajaib  yang  lahir  atas campur tangan
langsung Tuhan  seperti  digambarkan  di  atas.  Karena  Islam
datang  sebagai  petunjuk  untuk  manusia  dan diterapkan oleh
manusia dalam  kapasitas  kodratinya  yang  wajar-wajar  saja.
Yakni  manusia  sebagai  makhluk  Tuhan  yang  memiliki segala
kemungkinan dan potensi kebaikan  maupun  keburukan,  kekuatan
maupun  kelemahan.  Manusia  yang  bisa salah bisa benar, bisa
baik bisa  jahat,  bisa  meng-iblis  tapi  juga  bisa  menjadi
laiknya  malaikat.  Sementara  untuk  manusia yang luar biasa,
manusia  yang  dengan  hak  prerogatif  Tuhan  hanya  memiliki
kemungkinan  baik,  atau  hanya memiliki potensi buruk --kalau
saja yang demikian itu ada dalam kenyataan Islam--  Islam  tak
punya urusan.
 
Sebagai agama yang datang untuk kehidupan manusia dalam ukuran
yang normal atau yang  wajar,  Islam  tak  saja  harus  ma'qul
(sensible),  tapi  sekaligus  juga ma'mul (applicable). Ma'qul
artinya bisa dicerna logika penalaran, sedang  ma'mul  artinya
bisa  dicerna logika kesejarahan. Logika pemikiran hadir dalam
ujud rnaqal yang bersifat teoritis, logika  kesejarahan  hadir
dalam  ujud  hal  yang bersifat empirik. Berbeda dengan logika
teoritis yang bersifat abstrak dan subyektif,  logika  empiris
bersifat konkrit dan obyektif. Suatu ajaran untuk bisa disebut
ma'mul, harus bisa dijabarkan dalam kerangka kerja sistem yang
bisa  dirancang,  dikontrol dan bisa diukur. Ini berarti bahwa
yang ma'qul  belum  tentu  matmul,  tapi  yang  ma'mul  secara
implisit haruslah ma'qul.
 
Kembali  pada  pokok  soal,  tentang  "pemerataaan" atau lebih
mendasar  lagi  soal  "keadilan  sosial,"  orang   bisa   saja
mengatakan  bahwa  semua  rukun  Islam  yang lima cukup ma'qul
untuk  memecahkannya.  Tapi  dari  semua  yang   ma'qul   itu,
satu-satunya  yang  sekaligus ma'mul adalah rukun yang ketiga,
yakni zakat.  Karena  seperti  halnya  tema  pemerataan,  atau
keadilan   sosial,   yang   titik   berangkatnya  adalah  pada
pemerataan akses sumber daya materi, zakat adalah satu-satunya
rukun  Islam  yang  berkaitan langsung dengan persoalan materi
itu. Benar bahwa haji pun bersentuhan dengan soal materi, tapi
hanya sebagai sarana yang tetap ada di luar zat-Nya.
 
Lebih  dari  sekedar  meletakkan  soal  penguasaan sumber daya
materi sebagai subyeknya, zakat --berbeda dengan haji-- bahkan
meletakkannya  sebagai  sesuatu  yang  harus diatur sedemikian
rupa agar kemungkinannya untuk menumpuk  hanya  pada  kalangan
tertentu    (aghniya)    bisa    dihindarkan,   atau   ditekan
serendah-rendahnya. Sasarannya bukan agar semua orang memiliki
bagian  secara sama rata, rata sedikitnya atau banyaknya. Tapi
agar tak terjadi suasana  ketimpangan,  dimana  sebagian  yang
lain  hampir-hampir  tak  memiliki  sama sekali. Sebab bermula
dari ketimpangan dalam hal materi  (ekonomi),  ketimpangan  di
bidang yang lain (politik dan budaya) hampir pasti selalu saja
membuntuti.
 
Maka  konsep  dasar  zakat  sebagai   mekanisme   redistribusi
kekayaan  (materi) adalah pengalihan sebagian aset materi yang
dimiliki  kalangan  kaya  (yang  memiliki  lebih   dari   yang
diperlukan)  untuk  kemudian  didistribusikan pada mereka yang
tak  punya  (fakir  miskin  dan  sejenisnya)  dan  kepentingan
bersama.  Seyogyanyalah  pengalihan  itu dilaksanakan kalangan
berada atas kesadaran  mereka  sendiri.  Tapi  karena  manusia
mengidap  nafsu "cinta harta" (hub-u 'l-dunya), maka kehadiran
lembaga  yang  memiliki  kewenangan  memaksa  untuk  melakukan
pengalihan  itu  pun menjadi tak terelakkan. Lembaga itu, yang
dalam realitas  sosiologis  memuncak  pada  apa  yang  dikenal
dengan  negara  (state),  dari  sudut  moral  memang merupakan
anomali. Tapi lembaga  anomali  tersebut  perlu  justru  untuk
menjadi  penawar bagi anomali lain yang ada pada diri manusia,
yakni nafsu gila harta (keduniaan) tadi.
 
Tapi disinilah persoalannya, lembaga negara yang secara  moral
hanya  bisa  dijustified  sepanjang  berfungsi  sebagai  racun
penawar terhadap kerakusan duniawi  masyarakat  manusia  (yang
kuat),  dalam  sejarahnya  justru  cenderung  memainkan  peran
terbalik. Ia dengan segala perangkat lunaknya (seperti  sistem
hukum  dan  perundang-undangan)  maupun  yang  keras  (seperti
satelit pengintai dan  senjata  rudalnya)  seringkali  menjadi
alat  bagi  kepentingan  "penyakit  keduniaan" yang seharusnya
dinetralisir oleh keberadaannya. Maka bisa dimengerti  apabila
pernah  muncul  suatu  obsesi  dalam sejarah pemikiran manusia
yang mengimpikan suatu zaman dimana apa yang  disebut  lembaga
negara  itu tak usah ada lagi. Ajaran Nabi Isa secara implisit
ingin sekali mengingkari keberadaannya. Juga ajaran Karl Marx,
18  abad  kemudian secara eksplisit mengidealkan kepunahannya.
Zaman idaman baginya adalah zaman ketika lembaga negara  telah
lenyap berikut seluruh akar-akarnya.
 
Syahdan, dalam sejarah politik kenegaraan modern, konsep pajak
sedikit banyak sudah mulai diberi fungsi redistribusi kekayaan
seperti  tersebut  di  atas. Bahkan dengan tarif begitu tinggi
yang  disebut  dengan  pajak  progresif.  Tapi   persoalannya,
setelah  pajak  yang  tinggi itu ditarik dari masyarakat wajib
pajak, apakah memang kemudian  ditasarufkan  untuk  mengangkat
kehidupan  mereka  yang tak punya dan untuk kemaslahatan semua
pihak? Inilah persoalan dasar, siapa  yang  sebenarnya  paling
diuntungkan  oleh pranata pajak yang ditangani lembaga negara,
atau oleh hampir semua negara di atas bumi ini?
 
Pertanyaan tersebut mengena bukan saja terhadap lembaga negara
yang  dikelola  secara  otoriter,  atau semi otoriter, seperti
yang terjadi di banyak bumi belahan Timur, tapi juga  terhadap
negara-negara  lain  yang  mengaku berjalan secara demokratis,
seperti Amerika dan negara-negara  Barat.  Memang  lebih  gila
lagi, secara lahir batin, adalah negara-negara monarki absolut
zaman  dulu.  Apabila  negara  di  zaman  modern  sudah  mulai
melibatkan  rakyat  melalui  wakil-wakilnya  dalam  menentukan
penggunaan uang pajaknya melalui undang-undang, negara monarki
absolut   memandang   kewenangan   pengalokasian   uang  pajak
(upeti/tax) sepenuhnya di tangan sang raja saja.
 
Tapi ya itu tadi, dengan  peranan  lembaga  perwakilan  rakyat
dalam  tata kenegaraan modern belum menjadi jaminan bahwa uang
pajak akan ditasarufkan dengan prioritas utama bagi pembebasan
rakyat  lemah.  Dimulai  dari  pembebasan  di  bidang ekonomi,
kemudian menyusul  bidang-bidang  kehidupan  lain  yang  lebih
sublim,   politik  dan  budaya.  Penjelasannya  sederhana,  di
negara-negara Timur  yang  paternalistik,  keberadaan  lembaga
perwakilan  rakyat  umumnya  hanya merupakan permainan politik
kalangan elite penguasa. Lembaga  Perwakilan  Rakyat  hanyalah
sekedar  "nama  dan  proforma".  Kesadaran dan perilaku mereka
tetaplah  untuk  mengelabui  rakyat  bagi   kepentingan   para
penguasa  yang  mengatur keberadaan mereka. Lembaga Perwakilan
Rakyat  di  negara-negara  Timur  yang   paternalistik,   pada
hakekatnya adalah lembaga Perwakilan Penguasa.
 
Di negara-negara Barat yang liberal-kapitalistik, independensi
lembaga perwakilan rakyat dengan  penguasa  (baca:  eksekutif)
memang  cukup  kuat.  Tapi  hal itu tetap bukan (belum?) dalam
rangka penegakkan kontrol atas lembaga negara bagi kepentingan
rakyat; lebih-lebih rakyat pada lapisannya yang paling jelata.
Berbeda dengan di Timur, di Barat negara memang sudah tak lagi
sepenuhuya  milik  penguasa  (kaum bangsawan, aristokrat, baik
secara keturunan maupun SK jabatan  seperti  di  Timur).  Tapi
juga  belum  berarti  telah  kembali pada pemiliknya yang sah,
yaitu rakyat keseluruhan yang  dimulai  dari  lapisannya  yang
paling  jelata.  Di  Barat  negara dengan seluruh soko gurunya
(eksekutif, legislatif  maupun  judikatif),  sudah  berada  di
tangan  rakyat,  tapi  baru  yang  ada di lapisan menengah dan
terutama lapisan atas. Mereka yang ada di lapisan bawah,  yang
justru  merupakan pemilik utama sebutan "rakyat" kapan saja ia
diucapkan, masih jauh dari dapat disebut memiliki negara.
 
Hal tersebut  dapat  dilihat  dengan  jelas,  misalnya,  dalam
alokasi  penggunaan  dana pajak dalam APBN mereka. Bagian yang
paling besar dari dana itu diperuntukkan untuk melindungi atau
melayani  kepentingan  kelas  menengah ke atas. Apakah melalui
sektor pertahanan dalam pengertian yang luas dengan dalih demi
kepentingan  nasional  mereka, atau melalui sektor pembangunan
sarana-sarana mana yang diperuntukkan utamanya  bagi  kalangan
masyarakat  kelas  menengah  ke  atas. Berapa anggaran belanja
yang  diperuntukkan  bagi  pembebasan  rakyat  (jelata),  sama
sekali  tak  berarti. Bahwa di negara-negara Eropa dan Amerika
yang pendapatan  perkapitanya  telah  mencapai  angka  8  ribu
sampai  11 ribu dollar pertahun masih banyak warga negara yang
tuna wisma (homeless) adalah bukti  yang  sangat  cukup  bahwa
rakyat  jelata di sana memang belum bisa disebut ikut memiliki
negara.
 
Memang ada drama yang  menarik,  dan  bisa  mengelabui  banyak
orang,  seolah negara-negara liberal kapitalis Barat itu telah
menempatkan dirinya di bawah kepentingan rakyat  sejati,  kaum
lemah  dan  melarat.  Drama  itu  pementasannya  di masyarakat
bangsa negara-negara Timur  yang  umumnya  miskin  dan  lemah.
Setiap  kali  bencana  dan musibah terjadi di masyarakat dunia
Timur, negara-negara Barat segera menunjukkan  kedermawanannya
(charity).  Lebih  dari  itu, apabila negara-negara Timur yang
miskin  itu  memerlukan   perbaikan   ekonomi,   mereka   siap
menawarkan  bantuannya.  Baik yang berupa hibah (grant) maupun
yang berupa pinjaman (loan).
 
Akibat permainan drama kolosal ini, banyak  orang  terhegemoni
untuk  meyakini  bahwa  Barat  memang  teladan  dunia;  sistem
kenegaraan/pemerintahan   yang   liberal-kapitalistik   memang
merupakan  pilihan sejarah terbaik dan terakhir. Padahal, jika
dilihat sedikit lebih kritis, akan  segera  tampak  pada  kita
bahwa  apa  yang  diperbuat  negara-negara Barat tetaplah demi
kepentingan mereka sendiri, sama sekali bukan demi kepentingan
rakyat  dan bangsa negara-negara Timur. Dan kepentingan mereka
(negara-negara  Barat),  seperti  disebutkan  di  atas  adalah
kepentingan  kelompok  yang  mengontrol  roda  kenegaraan atau
pemerintahan, yakni kelompok orang-orang yang  secara  politik
mengendalikan  jalannya  pemerintahan itu sendiri dan kalangan
para kaya kapitalis, selaku cukongnya.
 
Sampai titik ini  sebenarnya  telah  jelas  bagi  kita  bahwa,
sekurang-kurangnya  dalam tingkat verbal, ide dasar dari zakat
bukan sesuatu yang sama sekali asing dalam struktur  pemikiran
kenegaraan,  lebih-lebih  kenegaraan  modern.  Dengan  pranata
pajaknya ide zakat (bahwa yang kuat  harus  menanggung  beban)
sudah  banyak  dilaksanakan  oleh hampir semua negara di jaman
ini, bahkan dalam tarif yang begitu tinggi. Hanya  masalahnya,
bahwa  beban  yang  ditimpakan kepada mereka yang punya, yakni
beban pajak, ternyata  digelapkan  oleh  negara  sehingga  tak
sampai  ke  alamat  (mustahiq) yang semestinya. Di dunia Timur
yang feodalistik, dana pajak yang dikenakan  atas  orang-orang
kaya   dibelokkan   pentasarufannya   untuk  kepentingan  para
penguasa untuk mempertahankan kekuasaannya. Sementara di Barat
yang   liberal-kapitalistik,   dana   pajak   yang  semestinya
diprioritaskan pentasarufannya untuk  memperkuat  yang  lemah,
diputarkan kembali untuk melipat gandakan kekuatan mereka yang
sudah kuat, yakni kaum kapitalis dan  tentu  saja  para  elite
politik sebagai pengawal kepentingan-kepentingannya.
 
Dengan  kata  lain  persoalan  pokok  dalam topik redistribusi
kekayaan  (asset)  untuk  pemerataan,  dan  kemudian  keadilan
sosial  dalam  tatarannya  yang  lebih  luas, agaknya tak lagi
terutama terletak pada kalangan kaya. Memang di sana bukan tak
ada   masalah   sama  sekali.  Nafsu  kerakusan  mereka  untuk
mengakumulasikan kekayaan lebih banyak dan lebih banyak  lagi,
jelas   merupakan   persoalan   yang  tetap  serius  bagi  ide
pemerataan dan keadilan. Tapi fakta bahwa  dalam  kerakusannya
mereka bisa diikat komitmennya untuk menyisihkan sebagian dari
kekayaannya (berupa pajak) adalah bukti bahwa persoalan  pokok
tak lagi sepenuhnya di tangan mereka. Persoalan pokok itu kini
jelas terutama ada  di  pihak  apa  yang  kita  sebut  lembaga
negara.   Karena   dia   (lembaga   negara)-lah  yang  berbuat
selingkuh. So, what?!
 
Menuruti obsesi Marx bahwa  lembaga  negara  mesti  dienyahkan
atau  pengingkaran  Isa  as. terhadap lembaga itu rasa-rasanya
tak realistik. Negara, apalagi  dalam  pengertian  yang  lebih
luas   sebagai   lembaga  permufakatan  kolektif,  betapa  pun
konyolnya  tidaklah  mungkin  dihindari.  Mengingkari  lembaga
negara untuk semangat (ruh) kolektivitas manusia hukumnya sama
belaka  dengan  mengingkari  badan  bagi  ruh   individualitas
manusia.  Seperti  halnya  badan (kecil), negara sebagai badan
besar pun mengidap  nafsu-nafsu  (interests)  negatif  duniawi
yang   selalu   cenderung   memperalat  dirinya.  Tapi  dengan
bercokolnya  nafsu-nafsu  itu  pada  badan,  tak  seorang  pun
--kecuali  langka,  kalau  pun  ada--  yang pernah menyarankan
jalan  keluar  agar  badan  itu  dimusnahkan   saja   daripada
diperalat  oleh  nafsu-nafsu negatif yang melekat padanya Yang
paling  sehat  dan  fitri  (Islami)  tentulah  pendirian  yang
mengatakan,  "Biarlah  badan  itu  tetap ada dan tumbuh dengan
kewajarannya. Tapi dengan pengawasan atau kontrol  yang  terus
menerus  jangan  sampai  jatuh  dan diperalat oleh nafsu-nafsu
jahat yang mengitarinya."
 
Demikianlah Muhammad Rasulullah sebagai teladan  umat  manusia
tak  perlu  menyatakan  penolakan  terhadap keberadaan lembaga
negara. Bahkan  beliau  sendiri  dengan  komunitasnya,  dengan
sadar  telah  membangun  lembaga  itu.  Tapi  inilah kuncinya,
lembaga kenegaraan itu beliau bangun dengan kewaspadaan penuh,
dengan  meyakinkan  masyarakat  akan pentingnya kontrol sosial
(amar  ma'ruf  nahi  munkar)  secara   terus   menerus,   agar
keberadaan  lembaga  negara itu tetap sebagai alat, bukan bagi
kepentingan  penguasa  atau  kalangan  kaya,  melainkan   bagi
kepentingan  seluruh  rakyat  yang ada dalam otoritasnya. Dari
sudut  konsepsi  zakat,  kedudukan   negara   atau   kekuasaan
pemerintahan  adalah  amil  yang  harus  melayani  kepentingan
segenap rakyat, dengan membebaskan kemaslahatan (keadilan  dan
kesejahteraan) bagi semuanya.
 
Memang  untuk  menegakkan  keadilan  sosial dalam semangat dan
kerangka  zakat,  ada  pekerjaan   rumah   (PR)   yang   harus
diselesaikan  lebih dahulu. Konsepsi tentang ajaran zakat (dan
pada akhirnya tentang bangunan fiqh secara  keseluruhan)  yang
sudah  terlanjur  mendogma  di kalangan umat selama lebih dari
sepuluh  abad,  harus   ditransformasikan   terlebih   dahulu.
Pekerjaan  ini berat dan memakan waktu. Sebagian orang mungkin
merasa lebih aman dalam dekapan  dogma  lama  ketimbang  harus
berspekulasi  dengan  pamahaman ajaran yang "baru." Tapi tanpa
keberanian moral dan  intelektual  untuk  melakukan  perubahan
itu,  maka  pengkaitan  ajaran  Zakat  dengan cita pemerataan,
apalagi keadilan, tak lebih hanyalah mitos belaka.
 
--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174

0 komentar: